“Yayasan kita ini adalah Yayasan Wakaf. Wakaf dan yang tumbuh di atasnya adalah milik Allah. Yayasan kita bukanlah yayasan keluarga. Tolong dicamkan ini. Ini bukan Yayasan keluarga. Anak saya tidak berhak atas ini, anak ustadz Suyatno tidak berhak atas Yayasan dan IBS ini, anak ustadz Alfian tidak berhak. Yang berhak adalah mereka yang diamanahi tugas di Yayasan ini. Jika habis masa khidmat atau meninggal maka diangkat dalam syuro - dalam musyawarah. Begitulah seterusnya berganti dan diangkat lagi sebagaimana diatur dalam AD/ART”.
Pernyataan ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Al-Ihsan Riau tersebut mengandung beberapa makna pewarisan nilai dan persepsi tentang tata Kelola Yayasan sebagai berikut:
- Kepemilikan Yayasan adalah wakaf, makna wakaf adalah menahan pokok dan menyerahkan kepemilikannya pada Allah, nadzhir bertugas menumbuhkan, mengelola dan mengembangkan subjek wakaf sehingga tumbuh dan berkembang dan disalurkan pada kemashlahatan ummah. Menjadikan Allah sebagai pemiliknya berdimensi ukhrowi, sehingga memunculkan sikap pengabdian dan keikhlasan serta ibadah dalam setiap langkah dan tata kelola Yayasan.
- Bukan Yayasan keluarga mengandung makna tidak ada pewarisan pengelolaan kepada anak keturunan. Bahkan ada pengulangan peryataan bahwa anak-anak keturunan yang diamanahi dalam organ Yayasan tidak memiliki hak atas pengelolaan Yayasan. sehingga memilki konsekuensi tata kelola Yayasan diatur dan mengacu pada tata kelola organisasi yang profesional, integritas, transparan dan akuntabel.
- Pengelolaan Yayasan sebagaimana diatur dalam AD/ART. Pengelolaan Yayasan dibangun berdasarkan kekuatan sistem, bukan terletak pada ketokohan personal semata. Sehingga prinsip syura’ atau musyawarah berdasarkan AD/ART yang menjadi panduan bagi tata kelola Yayasan.
“Jika Yayasan ini diibaratkan sebuah kereta api, maka lokomotifnya adalah wakaf. Aktifitas wakaf harus menjadi penggerak dari seluruh proses pergerakan Yayasan. Secera sederhana nadzhir harus proaktif dan inovatif dalam mendayagunakan asset wakaf. Asset wakaf harus produktif. Jika pengurusnya bangun maka diharapkan tidak ada asset dan lahan wakaf yang tidur”
Sebagaimana visi Yayasan Wakaf Al-Ihsan Riau adalah menjadi lembaga wakaf yang kokoh dalam melayani ummat di bidang pendidikan, keagamaan dan sosial. Maka menjadikan aktifitas wakaf sebagai pusat kekokohan lembaga menjadi core competence yang dibangun oleh Yayasan. Sehingga hasil pengelolaan dan pengembangan wakaf dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk pengembangan pendidikan, keagamaan dan sosial yang diwadahi oleh Pesantren Al-Ihsan Boarding School Riau.
Pernyataan ketua Yayasan Wakaf Al-Ihsan Riau mengandung beberapa arahan teknis sekaligus panduan pengelolaan dan pengembangan Yayasan sebagai berikut:
- Diibaratkan sebagai kereta api, maka Yayasan dibangun sebagai lembaga besar yang memiliki manfaat besar. Hingga saat ini Yayasan telah memiliki 269 pendidik dan tenaga kependidikan, mengasuh 1.503 santri serta 30 masjid dan mushola binaan. Lembaga memiliki prospek berkembang yang sangat besar mengingat sumber daya manusia pada usia produktif dan telah memiliki beberapa cabang.
- Aktifitas wakaf harus menjadi penggerak (lokomotif) dari seluruh proses pergerakan Yayasan. Lembaga menjadikan aktifitas wakaf sebagai core competence. Sehingga hasil pengelolaan dan pengembangan wakaf dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk pengembangan pendidikan, keagamaan dan sosial yang diwadahi oleh Pesantren Al-Ihsan Boarding School Riau.
- Jika pengurusnya bangun maka diharapkan tidak ada asset dan lahan wakaf yang tidur. Pengurus Yayasan sebagai nadzhir wakaf dituntut untuk memiliki kemampuan manjerial, kemampuan bisnis dan kemampuan manajemen resiko. Pengurus Yayasan sebagai nadzhir wakaf dituntut bangun dan tidak tidur maksudnya memiliki jiwa entrepreneur, proaktif dan inovatif sehingga asset wakaf dapat tumbuh subur dan tidak ada yang nganggur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar