Definisi wakaf menurut syara’ adalah menahan. Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (kata kerja yang berfungsi sebagai kata benda) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Sebagaimana mayoritas ahli fiqh (Hanafi, Syafi’i dan Hambali) mendifinisikan wakaf dengan menahan pokok harta benda yang diwakafkan dan menyalurkan hasilnya untuk kemashalatan. (Rahman, 2009)
Sedangkan menurut Undang-undang wakaf, wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk digunakan dalam jangka waktu tidak terbatas atau untuk jangka waktu yang di tentukan sesuai dengan kepentinganya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah serta dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir dilakukan secara produktif. (UU, 2004)
dapun menurut KBBI (2022) terminologi produktif merupakan kata sifat yang merujuk pada pengertian mampu menghasilkan, menguntungkan dan mendatangkan nilai tambah serta manfaat. Senada dengan pendapat Sirojudin (2015) bahwa wakaf produktif merupakan pengelolaan wakaf yang professional untuk meningkatkan dan atau menambah nilai manfaat wakaf.
Dalam tataran praktis wakaf produktif
Salah satu ayat yang dijadikan dasar hukum wakaf terletak dalam QS Ali-Imran ayat 92. Allah swt. bahwa bentuk wakaf adalah dengan cara memberikan kualitas terbaik dari harta yang dicintai. Wakaf merupakan amal ibadah Maliyah yang paling utama pada masa awal dan keemasan Islam. Rosulullah dan para sahabatnya berlomba-lomba memberikan harta terbaiknya untuk dakwah Islam dan kemashalatan serta kesejahteraan ummat pada masanya. (Rohim, 2022)
Dalam tafsir online Ibnu Katsir (2015) menyebutkan bahwa Abu Talhah merupakan seorang Ansar yang paling banyak memiliki harta di Madinah, dan tersebutlah bahwa harta yang paling dicintainya adalah Bairuha (sebuah kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi. Nabi Saw. sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang segar lagi tawar. Sahabat Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan firman-Nya yang mengatakan:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Lalu Abu Talhah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman, dan sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha ini, dan sekarang Bairuha aku sedekahkan agar aku dapat mencapai kebajikan melaluinya dan sebagai simpananku di sisi Allah Swt. Maka aku mohon sudilah engkau wahai Rasulullah mempergunakannya menurut apa yang diperlihatkan oleh Allah kepadamu."
Sarmidi (2022) dalam materi dasar hukum wakaf pada bimbingan teknis perlindungan harta benda wakaf di Riau mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segalanya kecuali tiga perkara yaitu Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh yang mendo’akan kedua orang tuanya”.
إِذَا مَاتَ ابنُ آدم انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Abdillah (2018) mengutip Imam Nawawi dalam kitabnya syarah Shahih Muslim menyatakan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadist tersebut adalah wakaf, begitu pula pendapat Imam syarbini mengatakan bahwa Sedekah jariyah dipahami sebagai wakaf menurut para ulama, sebagaimana keterangan ar-Rafi’i, karena sedekah lainnya bukanlah sedekah jariyah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar