Di ujung sebuah jalan kecil, di mana riak kehidupan perumahan terpaut erat dengan semangat keilmuan dan ketakwaan, berdiri sebuah musholla yang masih dalam proses pengerjaan. Dinding-dindingnya yang kokoh menyimpan harapan, untuk bisa digunakan hanya menyisakan perkerjaan kecil meskipun masih jauh dari layaknya masjid atau musholla, harapan dan semangat untuk segera menggunakannya demi mendekatkan diri kepada Sang Pencipta terus mengalir di hati setiap penghuni.
Di tengah keriuhan pagi yang syahdu itu, terdengar suara tarhim yang lembut namun penuh makna, mengiringi rintik-rintik gerimis yang menari di atas aspal. Suara tersebut bukan sekadar seruan ritual, melainkan panggilan jiwa untuk menyambut rahmat Allah sebelum hari berlalu. Di antara suara-suara itu, terdengar pula seruan kecil dari hati anak-anak yang telah terlatih sejak dini untuk mengutamakan ibadah.
Di salah satu sudut perumahan, Alif, murid kelas 4, sedang sibuk menyiapkan diri. Ia tampak bersemangat meski udara masih dingin menusuk. Dari dalam rumah,
terdengar teriakan lembut Daffa, teman sekelasnya, yang mengajak bersama teman lainnya:"Alif! Feorus! Ayo, kita berangkat ke masjid. Waktu hampir tiba!"
Suara riang Daffa menggema, memecah keheningan pagi. Tak lama kemudian, Feorus, murid kelas 6 yang sudah lebih dewasa, bergegas sambil mengenakan peci kecilnya, menimpali dengan semangat, "Jangan tunggu lama-lama! Kita harus segera menjemput keberkahan subuh di masjid tetangga."
Meski langkah mereka kecil dan hati mereka masih dipenuhi
kepolosan masa kanak-kanak, tekad untuk mendekatkan diri kepada Allah tampak
nyata di setiap gerak mereka. Setiap pijakan di atas aspal yang basah oleh
sisa-sisa gerimis menyuarakan keinginan untuk mendapatkan cahaya Ilahi yang
tersembunyi di balik kegelapan.
Sementara itu, di sebuah rumah yang tidak jauh dari jalan kecil itu, Ahmad Nayustio, pria berusia 43 tahun, tengah terbangun dalam keheningan pagi. Hati yang biasanya dipenuhi semangat, hari itu terasa serasa tertinggal oleh waktu. Perjalanan panjang dari kampung meninggalkan bekas kelelahan yang jelas terlihat dari raut wajahnya. Saat ia membuka mata, suara lirih anak-anak yang memanggil untuk berangkat sholat subuh menggetarkan relung jiwanya.
Dalam perjalanan menuju masjid tetangga yang berjarak
sekitar 150 meter, Ahmad Nayustio merenungi betapa mudahnya manusia
terperangkap dalam kemalasan. Ia mengingat pesan Rasulullah dan kisah para
sahabat yang selalu mengutamakan sholat subuh meskipun dalam kondisi paling
berat sekalipun. Teringat akan sabda Nabi:
“Sholat yang paling berat bagi orang munafik adalah sholat Isya dan Subuh di masjid.”
Kata-kata itu mengalun lembut dalam benaknya, mengingatkannya bahwa sholat subuh adalah pintu untuk mendapatkan keberkahan dan cahaya Ilahi yang menerangi perjalanan hidup. Di antara ingatan itu, terpatri pula kisah sahabat, Abdullah bin Mas’ud, yang pernah berkata:
“Barang siapa yang ingin bertemu Allah dalam keadaan Muslim, hendaklah ia menjaga sholat lima waktu di masjid. Karena di sana, terdapat cahaya yang tak tertandingi oleh segala kenikmatan dunia.”
Refleksi itu membuat Ahmad Nayustio semakin bertekad untuk tidak membiarkan kemalasan merenggut kesempatan emas dalam menjemput rahmat Sang Pencipta. Dengan langkah mantap, ia bergabung dengan deretan jamaah yang sudah berkumpul di masjid.
Sesampainya di masjid, pemandangan yang tersaji di hadapannya adalah deretan anak-anak yang duduk di saf pertama dengan penuh semangat. Wajah polos mereka seolah menjadi cermin keikhlasan dan harapan. Tak lama kemudian, imam memimpin sholat dengan khidmat, mengangkat tangan untuk takbir dengan lantunan doa yang seakan menggetarkan seluruh ruangan.
Usai sholat, imam menyampaikan nasihat dengan suara yang lembut namun penuh tegas,
"Saudara-saudara, mari kita renungkan bahwa setiap detik subuh adalah karunia. Rasulullah bersabda, 'Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan dalam gelap menuju masjid, bahwa mereka akan mendapatkan cahaya sempurna di hari kiamat.' Anak-anak yang ada di saf pertama ini telah menunjukkan teladan bagi kita semua. Sementara kita, yang telah dewasa, sering kali menunda panggilan subuh. Marilah kita perbaiki diri dan tidak biarkan kemalasan merenggut kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah."
Ucapan itu menusuk hati Ahmad Nayustio. Ia merasa sindiran halus namun penuh kebenaran itu menggugah kesadarannya. Mendekati anak-anak yang masih tertawa kecil setelah sholat, ia pun berkata sambil tersenyum penuh haru,
"Anak-anak, kalian telah memberikan teladan yang indah. Kalian, dengan semangat kecil namun besar iman, telah mengingatkan kami, orang dewasa, untuk tidak pernah lalai dalam panggilan Allah. Semoga keikhlasan kalian menjadi cermin bagi kami semua."
Alif menjawab dengan polos, "Pak, besok jangan kesiangan lagi, ya! Nanti kita panggil lagi dengan suara lebih keras."
Feorus dan Daffa tertawa ringan, menciptakan kehangatan
dalam suasana pagi yang sudah syahdu.
Pagi itu, seolah menjadi saksi bisu transformasi jiwa-jiwa yang telah tersentuh oleh keindahan panggilan subuh. Gerimis pun telah reda, meninggalkan jejak-jejak keabadian yang melukiskan keindahan alam. Setiap langkah kecil anak-anak dan setiap niat tulus orang dewasa menyatu dalam harmoni yang tak terpisahkan, menyemai benih-benih keimanan yang akan tumbuh subur sepanjang hari.
Dengan semangat baru, perumahan itu pun bersatu dalam keyakinan bahwa keberkahan Allah senantiasa menyertai setiap langkah, setiap tarikan napas, dan setiap hembusan doa di pagi yang syahdu. Semoga setiap hari dimulai dengan niat yang tulus, diiringi dengan langkah-langkah kecil menuju kebenaran yang abadi, dan cahaya Ilahi yang senantiasa menuntun di jalan yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar