Halaman

Minggu, 17 Agustus 2025

Puncak Kemerdekaan Dan Ketertundukan

Pada masa pemerintahan Amīrul Mu’minīn ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, kaum Muslimin bergerak ke wilayah Persia. Perang Qadisiyyah sudah di ambang pintu. Rustum, panglima agung Persia, ingin mengetahui tujuan kedatangan kaum Muslimin. Ia pun mengirim utusan untuk memanggil juru bicara mereka.

Dari pasukan Islam, dipilihlah seorang sahabat sederhana bernama Rib‘ī bin ‘Āmir at-Tamīmī. Ia bukan bangsawan, bukan pula pejabat besar, melainkan seorang prajurit yang hatinya penuh dengan keimanan. Rib‘ī datang dengan pakaian sederhana, senjata yang usang, dan kuda yang biasa. Namun izzah imannya membuat langkahnya begitu tegas. Saat masuk ke tenda agung Rustum yang didesain menunduk penuh dengan permadani indah, tirai sutra, dan perhiasan emas. Rib‘ī datang dengan mendahulukan punggungnya, tidak membungkuk dan tidak pula tunduk pada gemerlap dunia. Dengan tombaknya, ia menyingkap kain permadani hingga robek, lalu duduk di lantai dengan penuh wibawa.

Rustum, terkejut dengan keberanian ini, lalu bertanya dengan nada heran namun penuh rasa ingin tahu : 

ما الذي جاء بكم إلى بلادنا ؟ 
“Apa yang membuat kalian datang ke negeri kami?”

Dengan penuh keyakinan, Rib‘ī menjawab kalimat

yang abadi, menjadi cahaya sejarah Islam: 

الله ابتعثنا، لنُخرج من شاء من عباده من عبادة العباد، إلى عبادة رب العباد، ومن ضيق الدنيا، إلى سعتها، ومن جور الأديان، إلى عدل الإسلام 
“Allah telah mengutus kami, untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, dari penyembahan sesama hamba menuju penyembahan hanya kepada Rabb semesta, dari kesempitan dunia menuju kelapangan dunia dan akhirat, dan dari kezaliman berbagai agama menuju keadilan Islam.”

Kalimat itu menghentak. Seorang prajurit biasa, di hadapan panglima besar dunia, mampu berbicara dengan penuh wibawa. Ia tidak gentar, tidak terpesona, dan tidak merasa kecil. Inilah kemerdekaan sejati seorang mukmin.

Kisah ini mengajarkan bahwa seorang dā‘i sejati harus merdeka dari dominasi siapa pun selain Allah. Merdeka dari harta yang bisa membelokkan niat, merdeka dari pengaruh penguasa yang bisa menekan kebenaran, dan merdeka dari popularitas yang bisa memperbudak hati.

Seperti Rib‘ī, seorang dā‘i yang merdeka hanya tunduk pada Allah, sehingga dakwahnya murni untuk membebaskan manusia—bukan sekadar dari kesesatan, tetapi juga dari belenggu kekuasaan manusia atas manusia. Kemerdekaan ini membuat seorang dā‘i berdiri tegak dengan izzah, meski di hadapan tirani dunia, apatah lagi hanya dari atasan kerja.

Inilah puncak kemerdekaan, yakni seorang mukmin tidak diperbudak oleh manusia lain, melainkan hanya tunduk kepada Allah semata. Kebebasan hati itu tidak datang begitu saja. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa agar seorang mukmin terhindar dari belenggu manusia, terutama dalam bentuk tekanan, utang, dan dominasi asing. Doa itu berbunyi:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang serta dari diperbudak manusia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Post