Pagi 17 Agustus 1945, di sebuah rumah sederhana di Pegangsaan Timur Jakarta, Bung Karno dengan suara bergetar membacakan Proklamasi Kemerdekaan. Di balik momen bersejarah itu, ada kolaborasi banyak tokoh dengan peran yang berbeda-beda. Ahmad Soebardjo berjibaku menyiapkan teks proklamasi, Laksamana Maeda menyediakan tempat yang aman, Bung Hatta menjadi pendamping utama Bung Karno, sementara para pemuda seperti Wikana dan Chaerul Saleh mendorong agar proklamasi segera diumumkan tanpa ditunda. Semua tokoh berjuang dengan kapasitasnya masing-masing, seolah sejarah sedang menunjukkan betapa pentingnya menempatkan orang pada posisi yang tepat.
Hari Kemerdekaan selalu menjadi momen refleksi, bukan hanya tentang perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi juga tentang bagaimana kita mengelola hasil kemerdekaan itu. Jika para pendiri bangsa dahulu mampu menempatkan strategi dan orang-orang terbaiknya di garis depan perjuangan, maka di era sekarang, semangat itu perlu kita terjemahkan dalam bentuk good governance—tata kelola organisasi yang sehat, efektif, dan berdaya saing.
Pesan hari kemerdekaan sejatinya mengajarkan kita akan kolaborasi potensi kehebatan masing-masing anak bangsa pada area kontribusi yang tepat. Yes... prinsip right man in the right place dalam konteks tata kelola lembaga selaras
dengan ajaran Islam. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa amanah harus diberikan kepada orang yang tepat. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: "Apabila suatu perkara diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari) Artinya, keberhasilan suatu organisasi atau bangsa sangat bergantung pada kemampuan menempatkan orang sesuai kompetensi, keahlian, dan integritasnya. Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya keadilan dan keahlian dalam mengelola amanah: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS. An-Nisa: 58)Sejarah kemerdekaan Indonesia memberi teladan konkret. Bung Karno dikenal dengan kemampuan retorikanya yang luar biasa, menjadi motor penggerak semangat rakyat lewat pidato-pidato penuh visi. Bung Hatta, dengan ketajaman analisis dan keteguhan sikapnya, menjadi penyeimbang yang menguatkan arah kebijakan. Sutan Sjahrir tampil sebagai diplomat ulung yang piawai membuka jalan pengakuan internasional. Ki Hajar Dewantara memberi dasar pemikiran tentang pendidikan nasional, karena sadar kemerdekaan sejati lahir dari bangsa yang cerdas. Bahkan tokoh seperti Ahmad Soebardjo dan Mohammad Roem memainkan peran strategis di meja perundingan, mengokohkan legitimasi diplomatik bangsa.
Sebagaimana bangsa ini meraih kemerdekaan karena kolaborasi para tokoh yang memiliki peran berbeda namun saling melengkapi, demikian pula organisasi modern dituntut untuk meniru spirit itu. Seorang pemimpin yang bijak tidak hanya pandai memberi arahan, tetapi juga cermat membaca potensi anggotanya. Inilah bentuk nyata kemerdekaan dari salah urus, konflik kepentingan, dan inefisiensi. Semangat kemerdekaan akan lebih bermakna bila diwujudkan dalam budaya organisasi yang sehat: kerja sama, transparansi, dan keberanian menempatkan orang sesuai kompetensi, sebagaimana dituntun oleh nilai-nilai Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar