Ijtihad adalah Upaya mengerahkan segala kesungguhan dan mencurahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syarak atau untuk mengimplementasikannya. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, kompetensi untuk menetapkan dan atau memutuskan hukum ada pada pribadi Rasulullah saw. sendiri. Dengan bimbingan wahyu. Rasulullah saw. menjadi referensi tunggal ketika umat Islam menghadapi permasalahan hukum. Al-Qur’an dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang berfungsi sebagai guidance bagi kehidupan manusia dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunahku”
Namun, setelah Rasulullah saw. wafat, otomatis wahyu terhenti dan Sunah tidak mungkin akan muncul lagi. Sebab, Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir yang berarti bahwa periode tasyri‘ dalam pengertian yang sebenarnya telah berakhir sesuai dengan firman Allah swt. yang terdapat dalam Q.S. Al-Ma’idah : 3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Setelah Al-Qur’an dan Sunah terhenti, pada saat yang sama perilaku, budaya, dan peradaban manusia tumbuh dan berkembang secara dinamis. Hal ini mengandung makna bahwa kemungkinan akan terjadi "masalah baru" yang orisinil akibat pergulatan perilaku sosial dan sains akhir zaman. Sebagai konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Al-Qur’an dan atau Sunah. Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris para Nabi (waratsat al-anbiya’) diberi perkenan oleh Syari‘ untuk berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam. Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah Muadz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di Yaman
(Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah SAW. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Mu’adz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika dihadapkan kepadamu?” Mu’adz menjawab, “Dengan kitab Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana apabila tidak Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, “Berdasarkan Sunah Rasulullah.” Rasulullah saw. Bertanya lagi, “Bagaimana apabila tidak engkau dapati dasarnya dalam Sunah?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad berdasarkan pemikiran saya.” Rasulullah saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan utusan Rasulullah atas sesuatu yang diridai Rasulullah.”
Ali Abd al-Kafi as-Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj menjelaskan kriteria mujtahid adalah: (a) menguasai ilmu ‘aqliyah (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas yang memadai, tidak mudah tergelincir dalam kesalahan, mengetahui penggunaan lafal-lafal dengan tepat, serta mampu menyeleksi dalil yang benar dan dalil yang salah; (b) menguasai kaidah-kaidah syarak sehingga memiliki kemampuan untuk menggunakan dalil-dali syarak secara tepat, sesuai atau tidak sesuai; (c) memahami maqashid al-syri‘ah, sehingga berdasarkan ketajaman nalurinya, ia mampu menetapkan hukum secara tepat dan benar, mampu menjawab atau memecahkan hukum yang dihadapkan kepadanya, meskipun masalah tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit dalam nas syarak.
Permasalahannya kemudian adalah apakah syarat-syarat mujtahid yang demikian rigid dan mendetail tersebut dapat dimiliki oleh ulama Islam dewasa ini. Menanggapai hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa kriteria mujtahid mutlak sulit terpenuhi pasca era imam mazhab, sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa pada setiap generasi pasti akan muncul para mujtahid pada zamannya. Menurut Abu Zahrah, persyaratan yang telah diuraikan di atas adalah untuk mujtahid mutlak.
Dalam literatur ilmu ushul fiqh, secara teoretis, kriteria mujtahid dapat diklasifikasikan menjadi empat tingkatan sebagai berikut :
- Mujtahid mustaqill atau mujtahid mutlak, yaitu orang yang mampu mengistinbatkan hukum suatu masalah secara langsung dan independen dari sumber hukum aslinya, yaitu nas Al-Qur’an dan Sunah melalui penalaran normatif secara deduktif-makro. Apabila tidak mendapati sumber hukumnya dalam nas Al-Qur’an dan Sunah, maka ia akan menggunakan segala metode ijtihad seperti metode analogi (qias), istihsan, mashlahah al-mursalah, dan sadd al-dzari‘ah. Mereka berijtihad dengan menggunakan manhajnya sendiri, tidak mengikuti manhaj orang lain. Di antara para ulama yang termasuk kategori ini dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab dan an-Nakha’i. Adapun dari kalangan mujtahid mazhab adalah Ja’far ash-Shadiq, al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, dan lain sebagainya.
- Mujtahid muntasib, yaitu orang-orang yang dalam berijtihad bergantung dan menggunakan manhaj ulama lain tetapi memiliki ketetapan hukum yang berbeda. Mereka ini adalah para ulama pengikut mazhab tertentu, seperti pengikut Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Di antara ulama yang termasuk kategori ini adalah Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar dari pengikut Abu Hanifah; al-Muzni dari pengikut Mazhab al-Syafi’i; Abd ar-Rahman bin al-Qasim, Ibn ‘Abd al-Hakam, dan lain sebagainya.
- Mujtahid fi al-madzhab, yaitu para ulama yang mengikuti pendapat para imam mujtahid mutlak, baik dalam hal matodologi (manhaj) ijtihad yang digunakan maupun dalam produk pemikiran hukumnya. Teknis pelaksanaannya, langkah pertama adalah mencermati kaidah-kaidah ushul fiqh yang digunakan para imam mazhab sebelumnya dan kaidah-kaidah fiqh, kemudian secara induktif kaidah-kaidah tersebut diterapkan dalam kasus hukum yang terjadi di masyarakat dan belum pernah ditemukan sebelumnya. Menurut ilmu ushul fiqh, praktik ijtihad yang demikian dikenal dengan istilah tahqiq almanath.
** Berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar