Sebagai mahluk sosial kebutuhan dan keinginan manusia adalah tidak terbatas, sedangkan alat atau sumber daya pemuas kebutuhan manusia sangat terbatas, selain itu manusia juga dibatasi oleh aturan-aturan dan kaidah-kaidah dalam hal dan cara memperoleh alat pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam prinsip ekonomi kapitalis pemenuhan kebutuhan manusia bersifat individualisme dan rasionalisme beorientasi materi bagaimana memaksimalkan produksi barang dan jasa semaksimal mungkin dan seefesien mungkin guna memenuhi kebutuhan manusia tetapi kurang mempertimbangkan aspek moral dan etika tentang tata cara memperoleh dan memenuhi kebutuhan manusia tersebut.
Perilaku konsumen sebagaimana mengacu pada ilmu ekonomi kapitalis, sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam ekonomi kapitalis, perilaku rasional dianggap ekuivalen (equivalent) dengan memaksimalkan utiliti. Perilaku konsumen pada ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mempertimbangkan hari akhirat (Gunawijaya, R., 2017) Kegiatan konsumsi yang dilakukan konsumen memiliki tujuan yang dikehendaki. Dalam ekonomi tujuan konsumsi diasumsikan selalu untuk memperoleh kepuasan (utility). Utility secara bahasa berarti berguna (usefulness), membantu (helpfulness) atau menguntungkan (advantage).
Seorang Muslim dalam penggunaan penghasilannya memiliki 2 sisi, yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT (Choudhury, 1986). Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Secara garis besar, perilaku konsumsi dalam Islam dipengaruhi oleh :
PERBEDAAN TEORI PERILAKU KONSUMEN
Teori perilaku konsumen konvensional berbeda dengan perilaku konsumen islami. (Said, M. 2008). Perbedaan secara jelas dapat digambarkan dalam karakteristik nilai konsumsi pada table berikut :
Pertama, konsumsi dalam Islam bersumber dari fitrah manusia yang suci, bersumber dari aturan-aturan agama. Aturan-aturan ini mengatur apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang, bukan berdasarkan hasrat atau nafsu. Kalau manusia melakukan kegiatan konsumsi berdasarkan nafsu maka nafsu akan cenderung untuk mendorongnya kepada kejelekan, sebaliknya apabila berdasarkan fitrah maka fitrah akan mendorongnya kepada kebaikan.
Kedua, dari segi hasil yang akan dicapai dalam teori konsumsi Islami adalah manfaat dan berkah, berbeda dengan konvensional yang dituju adalah kepuasan. Perbedaannya ketika kepuasan menjadi sasara utama terkadang mengabaikan manfaat dan berkah, sebaliknya ketika manfaat dan berkat yang menjadi hasil, maka kepuasan akan mengikutinya setelah itu. Kepuasan ini terkadang hanya berasal dari keinginan yang mengikuti nafsu, sehingga terkadang sesuatu yang dikonsumsi tersebut sebenarnya bukanlah berasal dari kebutuhan.
Ketiga, ukuran dari konsumsi Islami berbeda dengan konvensional, teori konsumsi Islam menjadikan fungsi sebagai ukuran, bukan preferensi atau selera. Kebutuhan akan sesuatu berdasarkan fungsinya bukan berdasarkan preferensi atau selera, sehingga pemenuhannya asal sesuai fungsi atau tepat guna maka sudah tepat ukurannya. Berbeda jika ukurannya adalah selera, selera akan membuka pintu untuk bermewah-mewah, boros dan mubazir, sehingga ukurannya menjadi tidak stabil.
Keempat, sifat dari konsumsi juga berbeda, ketika konsumsi berdasarkan sifatnya maka keinginan akan menjadi sangat subjektif karena masing-masing orang akan sangat berbeda keinginannya, sementara jika sifatnya adalah kebutuhan maka lebih objektif, karena kebutuhan akan memiliki standar dan strata tersendiri, mulai dari yang paling pokok sampai dengan kebutuhan yang tersier atau mewah. Kelima, dari segi tuntunan Islam atau etika Islam keinginan harus dibatasi, karena keinginan manusia tidak akan ada batasnya kalau tidak dibatasi, sementara kebutuhan harus dipenuhi. Setiap manusia secara pribadi wajib berusaha, bekerja dan bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan pokoknya.
- Nilai guna (utility) barang dan jasa yang dikonsumsi,
- Kemampuan konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa; daya beli dari income konsumen dan ketersediaan barang di pasar, serta
- Kecenderungan konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut pengalaman masa lalu, budaya, selera, serta nilainilai yang dianut seperti agama, dan adat-istiadat.
- Prinsip keadilan كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan.
- Prinsip kebersihan Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah SWT.
- Prinsip kesederhanaan Sikap berlebih-lebihan (israf).
- Prinsip kemurahan hati Dengan mentaati ajaran Islam.
- Prinsip moralitas Pada akhirnya konsumsi seorang Muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata memenuhi segala kebutuhan.
PERBEDAAN TEORI PERILAKU KONSUMEN
Teori perilaku konsumen konvensional berbeda dengan perilaku konsumen islami. (Said, M. 2008). Perbedaan secara jelas dapat digambarkan dalam karakteristik nilai konsumsi pada table berikut :
Karakteristik |
Keinginan |
Kebutuhan |
Sumber |
Hasrat
(nafsu) manusia |
Fitrah Manusia |
Hasil/Tujuan |
Kepuasan |
Manfaat dan berkah |
Ukuran |
Preferensi/selera |
Fungsi |
Sifat |
Subjektif |
Objektif |
Tuntunan Islam |
Dibatasi/dikendalikan |
dipenuhi |
Pertama, konsumsi dalam Islam bersumber dari fitrah manusia yang suci, bersumber dari aturan-aturan agama. Aturan-aturan ini mengatur apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang, bukan berdasarkan hasrat atau nafsu. Kalau manusia melakukan kegiatan konsumsi berdasarkan nafsu maka nafsu akan cenderung untuk mendorongnya kepada kejelekan, sebaliknya apabila berdasarkan fitrah maka fitrah akan mendorongnya kepada kebaikan.
Kedua, dari segi hasil yang akan dicapai dalam teori konsumsi Islami adalah manfaat dan berkah, berbeda dengan konvensional yang dituju adalah kepuasan. Perbedaannya ketika kepuasan menjadi sasara utama terkadang mengabaikan manfaat dan berkah, sebaliknya ketika manfaat dan berkat yang menjadi hasil, maka kepuasan akan mengikutinya setelah itu. Kepuasan ini terkadang hanya berasal dari keinginan yang mengikuti nafsu, sehingga terkadang sesuatu yang dikonsumsi tersebut sebenarnya bukanlah berasal dari kebutuhan.
Ketiga, ukuran dari konsumsi Islami berbeda dengan konvensional, teori konsumsi Islam menjadikan fungsi sebagai ukuran, bukan preferensi atau selera. Kebutuhan akan sesuatu berdasarkan fungsinya bukan berdasarkan preferensi atau selera, sehingga pemenuhannya asal sesuai fungsi atau tepat guna maka sudah tepat ukurannya. Berbeda jika ukurannya adalah selera, selera akan membuka pintu untuk bermewah-mewah, boros dan mubazir, sehingga ukurannya menjadi tidak stabil.
Keempat, sifat dari konsumsi juga berbeda, ketika konsumsi berdasarkan sifatnya maka keinginan akan menjadi sangat subjektif karena masing-masing orang akan sangat berbeda keinginannya, sementara jika sifatnya adalah kebutuhan maka lebih objektif, karena kebutuhan akan memiliki standar dan strata tersendiri, mulai dari yang paling pokok sampai dengan kebutuhan yang tersier atau mewah. Kelima, dari segi tuntunan Islam atau etika Islam keinginan harus dibatasi, karena keinginan manusia tidak akan ada batasnya kalau tidak dibatasi, sementara kebutuhan harus dipenuhi. Setiap manusia secara pribadi wajib berusaha, bekerja dan bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan pokoknya.
*. Berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar