Halaman

Selasa, 02 Agustus 2022

Ijtihad Dalam Pusaran Maqhosid Syariah

Al-Ijtihad adalah Upaya mengerahkan segala kesungguhan dan mencurahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syarak atau untuk mengimple-mentasikannya. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, kompetensi untuk menetapkan dan atau memutuskan hukum ada pada pribadi Rasulullah saw. sendiri. Dengan bimbingan wahyu. Rasulullah saw. menjadi referensi tunggal ketika umat Islam menghadapi permasalahan hukum. Al-Qur’an dan Sunah yang merupakan sumber hukum Islam yang utama dan terutama mengandung nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etik yang berfungsi sebagai guidance bagi kehidupan manusia dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw

“Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunahku”

Namun, setelah Rasulullah saw. wafat, otomatis wahyu terhenti dan Sunah tidak mungkin akan muncul lagi. Sebab, Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir yang berarti bahwa periode tasyri‘ dalam pengertian yang sebenarnya telah berakhir sesuai dengan firman Allah swt. yang terdapat dalam Q.S. al-Ma’idah : 3

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka, barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Setelah Al-Qur’an dan Sunah terhenti, pada saat yang sama perilaku, budaya, dan peradaban manusia tumbuh dan berkembang secara dinamis. Hal ini mengandung makna bahwa akan terjadi ketidakseimbangan antara ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunah yang terbatas dengan masalah masalah social keagamaan yang tidak terbatas. Sebagai konsekuensinya, umat Islam akan menghadapi masalah penentuan dan atau penetapan hukum berkenaan dengan problematika yang tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam Al-Qur’an dan atau Sunah. Dalam kondisi yang demikian, para ulama sebagai ahli waris para Nabi (waratsat al-anbiya’) diberi perkenan oleh Syari‘ untuk berijtihad guna menentu-kan dan atau menetapkan hukum Islam. Referensi yang relevan dengan justifikasi ijtihad ini ialah kisah Muadz bin Jabal ketika akan diutus oleh Nabi saw. sebagai hakim di Yaman


(Diriwayatkan) dari Muadz bin Jabal bahwasaya Rasulullah SAW. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Mu’adz, “Bagaimana Engkau akan mengadili ketika dihadapkan kepadamu?” Mu’adz menjawab, “Dengan kitab Allah.” Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana apabila tidak Engkau dapati dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, “Berdasarkan Sunah Rasulullah.” Rasulullah saw. Bertanya lagi, “Bagaimana apabila tidak engkau dapati dasarnya dalam Sunah?” Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad berdasarkan pemikiran saya.” Rasulullah saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan utusan Rasulullah atas sesuatu yang diridai Rasulullah.”

Ali Abd al-Kafi as-Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj menjelaskan kriteria mujtahid adalah: (a) menguasai ilmu ‘aqliyah (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas yang memadai, tidak mudah tergelincir dalam kesalahan, mengetahui penggunaan lafal-lafal dengan tepat, serta mampu menyeleksi dalil yang benar dan dalil yang salah; (b) menguasai kaidah-kaidah syarak sehingga memiliki kemampuan untuk menggunakan dalil-dali syarak secara tepat, sesuai atau tidak sesuai; (c) memahami maqashidusy syari‘ah, sehingga berdasarkan ketajaman nalurinya, ia mampu menetapkan hukum secara tepat dan benar, mampu menjawab atau memecahkan hukum yang dihadapkan kepadanya, meskipun masalah tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit dalam nas syarak.

Dalam literatur Maqhosidusy syariah, Syeikh Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :

1) Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi penunjukannya. Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan (semantik). Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks: kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat yang khusus, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan laragan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya.

Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut. Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasarkan firman Alalh surat al-Baqarah ayat 228

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ....

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'

Dalam ayat ini memang dijelaskan batas waktu iddah adalah tiga kali quru’ namun tiga kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’ dengan memahami petunjuk/Qarinah yang ada disebut ijtihad bayani

2) Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidak tersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.”

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.

Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “akh” (Q.S al-Isra’: 23)

‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.

3) Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.

Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu: daruriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan skunder), tahsiniyyah (kebutuhan tersier). Prinsip umum ini ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh nash.

*. Berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Post